TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan memastikan aturan mewajibkan pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) bukan untuk mengekang kebebasan berekspresi, tetapi untuk menindak pelanggaran.
Ia menyatakan aturan tersebut tak hanya diterapkan di Indonesia tetapi juga di negara lain. Selain itu, sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, kata Semuel, bertujuan untuk menindak perusahaan yang melakukan tindak kejahatan.
“Aturan ini untuk menindak perusahaan ilegal seperti Binomo atau DNA Robot. Aparat harus masuk ke sistemnya karena sistem mereka melakukan kejahatan,” kata Semuel saat konferensi pers, Selasa, 19 Juli 2022.
Dasar aturan yang dipakai yakni Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020, kata Semuel, ditujukan terhadap PSE yang melanggar atau melakukan kejahatan. Dengan begitu, kepolisian memerlukan akses langsung ke mereka. Hal tersebut pun merupakan aturan internasional.
“Kalau ada kejahatan Kominfo perlu tahu, polisi perlu tahu, kita verifikasi datanya. Berarti kan sudah ada kasusnya, tidak bisa tiba-tiba tidak ada kasus ke platform minta nomornya,” katanya.
Terkait pasal yang melarang konten yang mengganggu ketertiban umum, Semuel menyebutkan, aturan ini untuk mengawasi konten yang bisa memecah masyarakat, misalnya penisataan agama. “Dulu kami pernah menghubungi Google untuk memastikan konten ini tidak bisa diakses di Indonesia,” katanya.
Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, sebelumnya dalam keterangan resmi pada 24 Juni 2022 lalu menilai pasal-pasal dalam Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tersebut berpotensi melanggar HAM dan mengekang kebebasan berpendapat.